“Udah positive thinking aja, semua
bakal baik-baik aja kok.”
Apakah Anda pernah mendengar kalimat itu? Kata-kata penyemangat tersebut sering
kita dengar dari teman atau sahabat ketika kita sedang mencurahkan permasalahan
yang kita hadapi. Kita mungkin juga pernah berada di posisi sebaliknya dan berusaha
untuk menghilangkan emosi negatif mereka dengan mengucapkan kata-kata seperti
di atas. Namun, kita perlu ingat bahwa emosi tidak dapat diartikan sebagai
amarah saja. Emosi merujuk pada perasaan atau ekspresi yang ditunjukkan sebagai
bentuk reaksi terhadap orang lain atau suatu hal.
Sekilas
tidak ada yang salah dari kalimat penyemangat tersebut. Tetapi, sebenarnya kalimat
tersebut dapat membawa toxic (racun).
Kalimat penyemangat semacam itu membuat kita secara tidak sadar untuk berpikir
positif pada saat kita mengalami emosi negatif, yang sejatinya perlu
diekspresikan atau diluapkan. Berpikir positif yang berlebihan dengan
menyangkal atau menyembunyikan emosi negatif yang kita alami ini disebut
sebagai toxic positivity. Sadar atau
tidak, kalimat penyemangat dari teman kita tersebut seperti ada yang mengganjal dan terkesan menjengkelkan.
Namun, di sisi lain kita tetap mengikuti ajakan mereka untuk bersikap positif dan
menganggap bahwa itu yang terbaik untuk mengatasi masalah kita.
Dilansir
dari Psychology Today, toxic positivity digunakan untuk
menggambarkan kondisi ketika seseorang berpikir bahwa menjadi positif adalah
satu-satunya cara yang tepat untuk menjalani hidup. Lantas, apakah kita memang
harus selalu bersikap positif? Apakah kita tidak boleh untuk merasa sedih? Selalu
bersikap positif berarti menyangkal adanya emosi negatif dalam diri manusia. Ketika
kita menyembunyikan emosi negatif, kita sama halnya dengan berbohong kepada
diri sendiri. Toxic positivity justru
menyebabkan seseorang tidak bisa meluapkan emosi dan lebih memilih untuk
memendamnya. Tentu hal ini tidak baik karena emosi negatif, seperti perasaan
sedih, kesal, dan marah yang dipendam, jika diakumulasikan akan membawa dampak
yang lebih buruk lagi. Salah satu muara negatif dari toxic positivity adalah gangguan pada kesehatan mental.
Toxic positivity terjadi ketika terdapat dua individu atau lebih, yang mana satu individu menceritakan keluhan, keresahan, atau permasalahannya dan individu lainnya menanggapi dengan kata-kata penyemangat yang dianggap sebagai solusi. Kata-kata penyemangat itu dapat berupa “Keep smiling” atau “Udah kamu nggak boleh gitu! Nggak usah terlalu dipikirin, masih banyak cowok di luar sana yang lebih baik”. Bahkan, tidak jarang individu lain memberi tanggapan dengan membandingkannya dengan masalah lain, “Udah jangan sedih, kamu masih mending seperti ini, lah kemarin temen aku ada yang bla, bla, bla ….” Ungkapan tersebut justru terkesan merendahkan masalah yang dihadapi oleh individu yang mencurahkan isi hatinya.
Mereka melontarkan kata-kata
tersebut tanpa memberi kesempatan kepada individu yang sedang bercerita tadi untuk
mencurahkan atau mengekspresikan emosi atau perasaannya terlebih dahulu.
Seolah-olah, mereka mengabaikan perasaan sedih atau keluhannya sehingga
kata-kata penyemangat tadi justru akan terasa hambar. Alhasil, ia harus
memendam emosi negatif berupa kesedihan atau keluhan yang dialami dan menganggap
bahwa dirinya baik-baik saja. Proses memendam emosi negatif inilah yang bisa
menjadikan sebuah bumerang bagi kondisi kesehatan mentalnya.
Sebagai mahasiswa PKN STAN, bukan
tidak mungkin kita mengalami fenomena ini. Ujian Tengah Semester (UTS), Ujian
Akhir Semester (UAS), tugas yang menumpuk, serta dikombinasikan dengan adanya
pandemi Covid-19, tidak bisa dipungkiri dapat mengakibatkan mahasiswa
mengalami depresi. Sering kita beranggapan bahwa dukungan kepada teman adalah
yang utama, terutama dengan memberi semangat melalui kata-kata yang sebenarnya
adalah toxic positivity. Memberi
semangat kepada orang lain memanglah baik, tetapi bagaimana jika respon teman
kita sebaliknya? Mereka bisa saja merasa semakin sedih dan kian terpuruk. “Udahlah, masih ada kuis lain, harusnya kamu
bersyukur dong, karna bla, bla, bla ….” Padahal, mereka sebenarnya hanya
ingin didengarkan, bukan hanya sepotong kalimat penyemangat.
Toxic
positivity dapat
berdampak pada gangguan kesehatan mental. Mereka yang terlalu sering mengalami
kondisi seperti itu akan terbiasa memendam emosi negatifnya. Kebiasaan tersebut
dalam jangka waktu yang lama mampu membuat mereka kurang percaya diri dan dapat
kesulitan untuk mengungkapkan emosi atau perasaannya kembali. Layaknya efek
domino, gejala-gejala tersebut dapat menjalar pada gangguan mental yang lain.
Dampak selanjutnya yang dapat
ditimbulkan dari toxic positivity adalah
individu tersebut dapat menjadi seseorang yang anti terhadap perasaan negatif.
Berawal dari perasaan negatif yang terabaikan, kepedulian sosialnya terhadap
sekitar dapat berkurang. Nalurinya dalam menunjukkan bahwa semua orang
sebaiknya melihat sisi positif dari kehidupan dan merasakan emosi negatif
merupakan sebuah hal yang tabu.
Dengan berkaca pada narasi di atas,
sudah sepantasnya kita sebagai mahasiswa yang erat dengan pergaulan, lebih peka
terhadap isu-isu seperti ini. Bukanlah suatu hal yang sulit untuk menghindari toxic positivity. Satu hal terpenting
yang perlu diperhatikan adalah kita perlu berpikir terlebih dahulu sebelum
berbicara. Kemudian, sebisa mungkin kita dapat memahami kondisi lawan bicara
ketika ia sedang menceritakan masalahnya. Kita hendaknya memikirkan kata-kata
yang tepat untuk menanggapi ceritanya. Setidaknya, ada rasa empati yang kita
tunjukan dan bukan hanya sekedar kata penyemangat saja. Kita juga dapat
memberikan solusi atas masalah yang dihadapi olehnya, asal kita mampu memberikan
saran yang baik.
Adapun kata-kata yang dapat
digunakan untuk menunjukkan rasa empati misalnya “Wajar kok kamu sedih.”; “Sebenernya
kamu ada apa? Cerita aja ke aku.”; “Kamu keren, masih kuat dalam kondisi
seperti itu.”; “Pasti berat banget ya buat kamu menghadapi ini. Lalu, bagaimana
keadaanmu? Apa yang bisa aku bantu untuk mengatasi masalahmu?” Tentu mengucapkan kalimat-kalimat tadi bukanlah
hal yang sulit, bukan? Kalimat-kalimat tersebut akan sangat berbeda ketika kita
mengucapkannya sembari menunjukkan sikap empati kita terhadap lawan bicara.
Namun, kita juga tidak perlu berlebihan membawanya berlarut-larut dalam
kesedihan.
Dengan menunjukkan sikap empati,
akan jauh lebih baik daripada sekedar memberikan sepotong kalimat penyemangat,
tanpa memberi kesempatan individu yang sedang bercerita untuk mengungkapkan
ekspresinya. Setiap orang perlu untuk mengekspresikan emosinya, entah perasaan
sedih, senang, bahagia, atau lainnya. Emosi negatif, seperti rasa sedih, bukanlah
suatu hal yang lebay atau dianggap lemah. Justru dengan jujur terhadap perasaan
diri sendiri dapat membuat kita menjalani hidup dengan mental yang lebih sehat.
Kontributor : Novenda Rian dan Falufi Hotmaria
Tidak ada komentar:
Posting Komentar