Kadangkala sebuah sebutan tidak mencerminkan bagaimana seseorang bersikap. Begitu juga untuk sebuah generasi yang memiliki skala dunia. Sebutan ataupun nama sejatinya merupakan sebuah harapan dari pendahulu. Sebagai estimasi pencapaian di masa depan oleh para generasi muda. Pada dasarnya tidak ada orang tua yang berniat memberikan nama keburukan.
Generasi merupakan sekumpulan manusia yang hidup pada suatu rentang masa dengan memiliki kesamaan karakteristik sifat, perilaku, dan pola pikir. Lalu, generasi seperti apakah kita ini? Apakah kita lebih baik dari orang terdahulu atau sebaliknya?
Mencari tahu makna sebuah generasi sama halnya dengan mencari jati diri. Siapa aku dan orang seperti apakah aku adalah pertanyaan yang sering muncul di dalam benak seseorang ketika mereka tengah mempertanyakan tentang diri mereka. Tujuannya adalah untuk mencari tahu karakter apa yang terbentuk dalam diri dan tujuan mana yang ingin diraih. Banyak orang merasa kesulitan dalam menemukannya. Tak jarang seseorang salah dalam mengambil keputusan untuk masa depannya.
Karakter diri seseorang merupakan bagian dari karakter generasinya. Oleh sebab itu penting juga untuk mengetahui seperti apa karakter-karakter generasi yang dihadapi saat ini. Sama pentingnya dengan menemukan jati diri seseorang, menemukan karakter suatu generasi menentukan jalan untuk menuju masa depan.
Para ahli telah sepakat untuk membagi manusia dalam beberapa golongan berdasarkan rentang waktu atau usia mereka. Mengapa harus digolongkan berdasarkan usia? Seseorang yang memiliki usia yang sama secara umum akan mengalami peristiwa yang serupa. Pengalaman dari peristiwa tersebut yang akan membentuk karakteristik kepribadian seseorang. Misalnya saja orang-orang yang hidup pada saat Perang Dunia II terjadi sekitar tahun 1940- an. Mereka tentunya memiliki jiwa patriotik yang tinggi karena mereka memiliki pengalaman perang membela Sekutu atau Porosnya.
Dari sebuah pengalaman maka akan terbentuk suatu pola pikir. Kemudian pola pikir tersebut akan memengaruhi sikap, selera, dan emosi seseorang. Dengan kata lain, karena peristiwa yang terjadi pada hampir seluruh umat manusia, secara otomatis akan membentuk pola pikir yang menjadi karakteristik manusia pada masa itu. Seperti yang telah dijelaskan oleh seorang sosiolog asal Jerman, Karl Mannheim, dalam artikelnya yang berjudul The Problem of Generation (1923). Mannheim menyebutkan bahwa sejarah, budaya, dan kondisi politik membentuk generasi muda pada waktu tersebut.
Dalam buku yang berjudul Generation: The History of America’s Future, 1584 to 2069 (1991) karya William Strauss dan Neil Howe secara lebih rinci dijelaskan mengenai penggolongan generasi manusia. Kedua sejarawan Amerika ini menggolongkan generasi menjadi tujuh, dua diantaranya terjadi sebelum Perang Dunia ke II dan kelima lainnya terjadi setelah Perang Dunia II. Meskipun teori yang mereka ciptakan ini diambil dari siklus sejarah Amerika, namun sampai sekarang teori ini masih digunakan sebagai dasar kajian di seluruh dunia.
Strauss-Howe mengatakan bahwa dua generasi sebelum Perang Dunia II disebut Generasi GI Bill dan Generasi Silent. GI Bill merupakan subsidi besar yang diberikan oleh pemerintah Amerika kepada veteran yang telah kembali usai Perang Dunia I. Generasi ini diidentifkasikan sejak tahun 1901 sampai dengan 1924. Sedangkan Generasi Silent adalah mereka yang masa kecilnya diwarnai dengan krisis dan Perang Dunia II.
Generasi pasca Perang Dunia II diawali dengan Generasi Baby Boomer. Nama ini diambil dari peristiwa kenaikan jumlah kelahiran bayi di Amerika yang sangat drastis yang terjadi pada 1946 sampai 1964. Baby Boomer ini merupakan dampak dari kemenangan Sekutu pada Perang Dunia II. Hal ini menimbulkan rasa optimis pada warga Amerika akan kejayaan bangsanya.
Tahun 1965 sampai 1980 menjadi milik Generasi X. Pada saat itu merupakan awal kemunculan Personal Computer (PC), video game, TV kabel, dan internet. Dengan berkembangnya teknologi, generasi ini lebih mudah untuk beradaptasi dengan berbagai perubahan dinamis dibandingkan generasi sebelumnya.
Dilanjutkan dengan Generasi Y yang muncul pada tahun 1981 sampai 1994, yang sering dikenal dengan generasi millenial. Generasi ini ditandai dengan booming-nya penggunaan internet dan media sosial. Teknologi komunikasi instan seperti e-mail, SMS, dan media sosial seperti Facebook dan Twitter sedang menjadi viral saat itu. Perkembangan teknologi ini mejadikan mereka pribadi yang lebih terbuka dan kritis terhadap isu sosial, politik, dan ekonomi.
Setelah kemunculan PC dan teknologi komunikasi, pada tahun 1994 dunia teknologi mengukir sejarah baru dengan munculnya smartphone untuk pertama kali. Pada tahun yang sama Generasi Z muncul dari orang tua Generasi X pertengahan sampai Generasi Y awal. Perangkat atau gadget yang multifungsi menjadikan mereka, para Generasi Z, seseorang yang multitasking. Generasi ini berakhir pada tahun 2010.
Generasi terakhir yang dikemukakan Strauss-Howe diberi nama Alpha. Generasi ini untuk mereka yang lahir pada tahun 2011 sampai 2025. Diramalkan generasi ini akan menjadi yang paling cerdas dari generasi sebelumnya. Generasi Alpha lahir dari keluarga yang mayoritas sudah mapan dan bersamaan dengan perkembangan ilmu teknologi. Kedua faktor tersebut sangat memfasilitasi mereka dalam belajar.
Si Pecandu Gadget
Gadget atau dalam Bahasa Indonesia disebut gawai merupakan suatu piranti yang diciptakan dengan teknologi canggih dan memiliki fungsi tertentu. Gadget ini sering disangkutpautkan dengan ponsel atau smartphone karena merupakan piranti yang telah banyak digunakan manusia, terutama di zaman modern seperti saat ini. Sejak kemunculannya di tahun 1990-an, penggunaan smartphone semakin berkembang terutama di kalangan remaja. Generasi Z yang saat ini berusia antara 17 sampai 23 tahun menjadi pengguna terbanyak.Generasi Z sangat akrab dengan gadget bahkan sejak lahir. Tak heran jika saat ini mereka tidak dapat lepas dari teknologi dan menjadi ketergantungan. Hal ini mengakibatkan orang tua Generasi Z kesulitan dalam melakukan pengawasan.
Para ahli menyebut Generasi Z dengan iGeneration, net generation, digital native, dan gen tech. Sebutan tersebut diberikan bukan tanpa alasan. Hampir setiap hari Generasi Z tidak dapat terlepas dari internet dan smartphone-nya . Untuk sekedar berkomunikasi, mencari informasi, bahkan berswafoto dan mengunggahnya dilakukan mereka dengan kedua benda tersebut.
Kedekatan Generasi Z dengan teknologi tentu akan membawa dampak pada pola pikir dan perkembangan perilaku. Secara umum dampak dengan adanya internet ialah semua informasi didapatkan dengan mudah. Kemudahan memeroleh informasi justru akan memicu rasa ingin tahu mereka untuk menemukan informasi yang lebih. Sehingga mereka memiliki wawasan yang lebih luas dan pandangan yang lebih kritis. Dampak lainnya adalah timbulnya era keterbukaan yang membentuk mereka menjadi seorang pemberani. Namun terkadang orang terdahulu melihatnya sebagai pemberontakan.
Berkembangnya media sosial saat ini juga menjadi faktor dalam pembentukan pola pikir generasi Z. Melalui media sosial mereka dapat bertemu dengan orang lain yang memiliki perbedaan kepribadian, budaya, dan bahasa. Secara tidak langsung mereka akan dipertemukan berbagai pandangan baru dari berbagai macam orang yang mereka temui. Dengan demikian mereka menjadi lebih mudah dalam memahami perbedaan yang ada.
Namun keberadaan teknologi ini juga membawa dampak buruk bagi Generasi Z. Kebiasaan mengunggah kegiatan pribadi memicu mereka menjadi seseorang yang egosentris. Berusaha menjadikan diri mereka sendiri sebagai pusat perhatian banyak orang justru kadang menimbulkan sifat egois. Selain itu ketertarikan mereka dengan dunia maya menciptakan sekat dengan dunia nyata. Sehingga mereka kurang peduli dengan lingkungan sekitar karena asyik dengan dunia khayalan.
Terlepas bagaimana karakteristik Generasi Z dan generasi sebelum atau setelahnya, hal tersebut tidak dapat dijadikan pembanding. Kemajuan teknologi saat ini bukanlah takaran untuk menentukan bahwa generasi saat ini lebih baik. Teknologi sekarang merupakan kontribusi dari para pendahulu. Selanjutnya pengembangan saat ini akan menjadi hadiah untuk generasi yang akan datang. Baik-buruk perilaku juga tidak dapat dijadikan tolak ukur. Pada pasalnya setiap generasi memiliki tantangan yang berbeda.
[Aisyah Dwija Prihastuti]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar