“Siapa saja dia, apapun profesinya, tak pantas dilecehkan.” ─ Helga Worotitjan
Ibarat gunung es di lautan, kasus pelecehan seksual masih menjamur di kalangan masyarakat Indonesia dan hanya beberapa kasus saja yang mencuat ke publik. Salah satu penyebabnya adalah kecenderungan korban untuk tidak melaporkan pelecehan seksual yang dialaminya. Padahal dengan speak up, korban dapat mencegah pelaku melakukan pelecehan, mendapat penanganan pasca kejadian, memberikan efek jera kepada pelaku, serta memotivasi korban lainnya untuk berani bersuara.
Kecenderungan tidak melaporkan pelecehan seksual ini terjadi karena korban tidak memiliki keberanian untuk speak up. Hal itu disebabkan korban masih merasa sedih, malu, dan trauma atas pelecehan yang diterimanya. Selain itu, perilaku pelecehan seksual sering kali tidak disadari oleh korban. Korban terkadang bingung mendefinisikan apakah yang mereka alami termasuk ke dalam pelecehan seksual atau bukan sehingga mereka ragu untuk melapor.
Pelecehan seksual sendiri terjadi apabila ada seseorang yang melakukan kontak seksual, dalam bentuk verbal, nonverbal, visual, psikologi, ataupun fisik seperti mengambil gambar, mengintip, memberikan isyarat dan transmisi bermuatan seksual, meminta seseorang melakukan perbuatan yang demikian pada dirinya, memperlihatkan organ seksual, serta melakukan sentuhan fisik. Tidak peduli tua-muda, perempuan-laki-laki, semua bisa menjadi korban maupun pelaku. Rendahnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat menjadi salah satu alasan meningkatnya potensi perilaku penyimpangan itu terjadi. Lambat laun, hal ini justru membentuk stereotip buruk bahwa kasus pelecehan seksual bukanlah suatu hal yang perlu dibesar-besarkan dan dianggap tabu untuk dibicarakan.
Jelas bahwa budaya tersebut harus dihilangkan. Salah satu caranya yaitu dengan meningkatkan kesadaran diri dan melaporkan kasus pelecehan yang dialami maupun yang diketahui. Hal ini bertujuan agar memberikan efek jera bagi pelaku dengan sanksi sesuai hukum yang berlaku. Namun dalam prosesnya, dibutuhkan keberanian bagi korban untuk “speak up” mengenai pelecehan seksual yang menimpa mereka. Sayangnya, hal tersebut justru menjadi tantangan sebab tidak semua korban mampu menceritakan kejadian pelecehan yang dialami. Selain itu, kebiasaan victim blaming sering terjadi kepada korban karena publik cenderung menyalahkan pakaian, jam keluar, dan gestur korban daripada perbuatan pelaku. Akibatnya. Korban merasa takut dan tertekan.
“Pertama-tama sedih, terus kecewa sama diri sendiri, malu, campur aduk. Apa ada yang salah dengan diri aku sampai kok bisa ada orang yang mikir aneh-aneh tentang aku, apa aku kurang sopan dan lain-lain. Buat cerita ke orang terdekat awalnya malu banget.” ungkap salah satu mahasiswa PKN STAN yang pernah mengalami pelecehan seksual di kampus. Ia awalnya menyalahkan diri sendiri dan enggan menceritakannya.
Meskipun demikian, speak up merupakan kunci utama untuk melawan pelecehan seksual. Langkah pertama yang perlu dilakukan korban adalah menenangkan pikiran terlebih dulu dan menyimpan apa pun bentuk bukti pelecehan seksual yang dialaminya. Kemudian mencari media yang dirasa aman untuk bercerita ketika sudah siap secara mental. Lingkungan sekitar, keluarga, dan teman dekat juga perlu menciptakan perasaan aman bagi korban agar mereka berani melapor. Kasus pelecehan seksual bisa dilaporkan kepada kepolisian terdekat atau beberapa lembaga berikut :
1. Komnas Perempuan : (021) 3903963 atau (021) 80605399
2. Layanan pengaduan masyarakat Kemenpppa : 082125751234 (Situs Kemenpppa.go.id)
3. LBH Apik: (021) 87797289 dan 081388822669
4. Ombudsman : 137 dan 0821373737
Saat ini, sudah terdapat platform Cloud Contact Center yang diluncurkan atas kerja sama antara Komnas Perempuan dengan Telkomtelstra dan ipSCAPE. Platform ini memudahkan Komnas Perempuan untuk melakukan penanganan atas kasus kekerasan atau pelecehan terhadap perempuan menjadi lebih efisien.
Di samping itu, mengingat ramainya kasus pelecehan seksual yang terjadi di lingkup institusi perguruan tinggi, pihak kampus perlu membuat pedoman penanganan pelecehan seksual, seperti yang telah dilakukan oleh Universitas Indonesia dan Univesitas Gajah Mada. Lalu bagaimana penanganan pelecehan seksual di PKN STAN?
Untuk PKN STAN sendiri, pihak kampus telah memiliki Satuan Pengawasan Internal (SPI) PKN STAN yang akan menangani kasus pelecehan seksual yang dilakukan pengajar, pegawai, maupun mahasiswa. Alur pengaduan terdiri dari tiga tahapan, yaitu pelaporan, tindak lanjut, dan penyelesaian. Pada tahap pelaporan, pelecehan/kekerasan seksual yang termasuk pelanggaran kode etik pengajar, pegawai, dan mahasiswa tersebut dapat diadukan ke nomor kontak SPI (WA 0812-9044-1982, IG @spi_pknstan, dan surel : pengaduan.spi@pknstan.ac.id).
Pelaporan menggunakan bahasa Indonesia yang sopan, baik, dan benar. Tidak lupa disertai kronologi yang jelas, identitas pelapor dan terlapor (dilindungi dan dirahasiakan oleh SPI), dan dilampirkan dengan alat bukti dokumen pendukung berupa bukti konkret, misalnya rekaman telepon, tangkapan layar (screenshot) riwayat pesan (chat), SMS, foto, atau bukti memar/rontgen/pemeriksaan kesehatan. Dengan adanya bukti tersebut, akan memudahkan pihak lembaga untuk menindaklanjuti kasus serta menyulitkan pihak pelaku untuk mengelak. Namun, laporan pelecehan/kekerasan seksual sebaiknya merupakan kasus baru yang tidak lewat dari tiga bulan yang lalu. Hal ini bertujuan untuk memudahkan dilakukannya pembuktian dan menghindari pelaku menghapus bukti-bukti yang ada.
Korban diharapkan untuk melaporkan sendiri sebab mereka yang memiliki kepentingan utama, mengetahui alur kejadian secara langsung, dan bukti-bukti konkret terkait. Tetapi, tidak menutup kemungkinan bahwa pihak lain dapat melaporkan. Hanya saja dikhawatirkan menimbulkan fitnah, rumor, atau desas-desus dengan kronologi dan pembuktian yang tidak jelas. Apabila yang melaporkan bukan korban yang bersangkutan, proses tindak lanjut akan semakin lama karena perlu mencari identitas korban, bukti-bukti perlakuan, dan lain-lain. Jadi, laporan utama sebaiknya berasal dari pihak korban sendiri yang merasa dirugikan oleh pelaku.
Selanjutnya, SPI akan menerima dan menindaklanjuti laporan tersebut. SPI akan meminta keterangan kepada pihak-pihak terkait, dengan mempertimbangkan arahan Direktur terlebih dahulu. Kemudian, Majelis Kode Etik Dosen/Pegawai atau Komisi Disiplin Mahasiswa dapat dibentuk apabila dibutuhkan. Setelah mempertimbangkan seluruh bukti, Majelis Kode Etik Dosen/Pegawai atau Komisi Disiplin Mahasiswa menyelesaian pengaduan sesuai dengan ketentuan atas jenis pelanggaran. Pelaku akan dijatuhi sanksi sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Meskipun proses pelaporan atas pelecehan seksual tidak sederhana, ajakan untuk berani speak up harus tetap digaungkan. Karena efek dari speak up ini tidak hanya memberikan perlindungan dan penanggulanan pasca kejadian terhadap korban, tetapi juga menciptakan rasa kebersamaan terhadap korban lainnya yang takut untuk bicara. Selain itu, kesadaran publik bahwa pelecehan seksual merupakan masalah serius juga akan meningkat.
Kontributor : Agustina, Mutia, Octry
Tidak ada komentar:
Posting Komentar