Bermedia Sosial juga Butuh Etika
"Jarimu,
harimaumu!" Ungkapan ini kian naik daun semenjak dunia memasuki era
Revolusi Industri 4.0. Tak bisa dipungkiri bahwa beragam teknologi dalam
penggunaan media sosial telah berkembang. Cakupannya yang semakin luas dan
penggunaannya yang bebas menyebabkan berbagai perubahan sosial baik positif
maupun negatif bagi masyarakat. Bagai pisau bermata dua, semua perubahan
tersebut pada dasarnya tergantung kebijaksanaan masing-masing pengguna media
sosial. Maka dari itu, etika dalam bermedia sosial tetap diperlukan guna
meminimalisir segala pengaruh negatif yang muncul.
Trend media sosial sendiri tidak hanya
menjangkit di Indonesia saja, tetapi juga negara-negara di dunia. Berdasarkan
data WeAreSocial dan Hootsuite per Januari 2020, dari 4,54 milyar pengguna
internet, sebanyak 3,80 milyar orang tercatat memiliki media sosial. Sedangkan
di Indonesia, angkanya cukup fantantis yaitu mencapai 160 juta orang pengguna
aktif media sosial dari segala usia. Hal ini dapat disimpulkan bahwa sekitar
59% penduduk Indonesia telah mengakses dan memanfaatkan media sosial yang ada. Lantas
apa saja pengaruhnya bagi masyarakat Indonesia?
Kembali pada
ungkapan di paragraf awal di atas, bahwa semua tergantung pada kebijaksanaan
para pengguna media sosial dalam memanfaatkan fitur-fitur yang disediakan oleh masing-masing
platform. Tidak dapat dipukul rata. Media
sosial ibarat uang koin yang memiliki dua sisi. Kemudahan dalam komunikasi dan
memperoleh informasi menjadi dalih utama keunggulan memiliki media sosial.
Namun di sisi lain, ada batas-batas sosial yang mengabur. Bukan hanya batas
wilayah daerah atau negara, tetapi juga batas privasi seseorang. Bahkan, yang
lebih buruk adalah adanya peningkatan online
shaming yang kerap dilakukan netizen kepada seseorang.
Perundungan secara Daring
Kebebasan
berekspresi yang kian menjadi-jadi semenjak era reformasi di Indonesia pada
tahun 1998, menyebabkan online shaming
atau perundungan secara daring sering dijumpai di masa kini. Baik unggahan berupa
konten negatif atau bukan, tak jarang ada netizen yang melontarkan komentar
negatif sebagai wujud ketidaksukaan terhadap apa yang diunggah atau dilakukan
korban. Parahnya lagi, netizen kerap mengulik identitas korban hingga menelisik
ke masa lalu mereka. Hal yang seharusnya menjadi privasi korban, justru
dijadikan senjata untuk mengolok-olok dan melalukan perundungan.
Selain itu,
timbul sebuah pertanyaan mengapa orang lebih berani mengutarakan pendapat di
dunia maya daripada di dunia nyata. Hal ini sebetulnya sederhana, penyebabnya
adalah adanya kemudahan membuat akun bodong yang dapat dipakai sebagai alat untuk mengunggah sesuatu atau
berkomentar pada unggahan orang lain dengan bonus, data personal mereka tidak
akan diketahui. Salah satu penyalahgunaan media sosial ini akhirnya ramai
dilakukan dengan tujuan mencari sensasi, melampiaskan emosi, dan masih banyak
alasan lainnya.
Berita buruknya,
penyalahgunaan media sosial tersebut dapat dilakukan oleh siapa saja bahkan
seorang publik figur sekalipun. Yang perannya menjadi panutan khalayak umum,
namun justru melakukan hal-hal tidak baik. Selain itu, masalah yang seharusnya
bukan konsumsi publik dan bisa dikomunikasikan secara internal saja, justru
diberitakan pada khalayak umum sehingga kian memperkeruh suasana. Oleh karena
itu, dalam menggunakan media sosial, sudah selayaknya memahami dan tetap
menerapkan etika seperti halnya bersosialisasi dengan masyarakat secara
langsung.
Etika dalam Menggunakan Media Sosial
Menurut Direktur Jenderal
Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Komunikasi dan Informatika,
Rosarita Niken Widiastuti ada lima etika ketika bermedia sosial. Kelima nilai
tersebut yakni tanggung jawab, empati, otentik, kearifan serta integritas.
Mengenai tanggung
jawab, maksudnya adalah dalam melakukan penyebaran informasi, tiap individu
harus bertanggung jawab atas konten dan informasi yang dimuat di media sosial
miliknya. Informasi yang diunggah harus mengandung informasi yang jujur dan
bermanfaat bukan malah menipu orang lain. Ada yang dinamakan pola informasi 10
to 90 yang artinya hanya 10 persen yang memproduksi informasi sementara 90
persen lainnya menyebarkan informasi tersebut. Sehingga, jika 10 persen berita
yang dikirim tersebut mengandung berita hoax, manipulasi data, intoleransi
hingga terorisme maka orang lain akan mendapat informasi yang salah sebagai
akibatnya.
Kemudian, perlu
adanya empati ketika hendak mengunggah suatu informasi. Seperti ketika berkeluh
kesah di media sosial, sering kali keluar kalimat kritik, menghakimi dan menilai
sesuatu secara berlebihan tanpa mempertimbangkan bagaimana keadaan subjek
maupun objek yang dimuat serta respon publik yang akan membaca informasi
tersebut. Perilaku ini tidak jarang pula berujung pada bullying, perilaku agresif
hingga penyimpangan seksual meski hanya sekadar unggahan gambar guyonan.
Di samping itu, ketika
hendak menggunggah suatu informasi di media sosial pun perlu mencantumkan
sumber asli dari mana informasi tersebut berasal. Selain agar apa yang
disampaikan kepada orang lain lebih terpercaya, juga untuk menjaga dari tindak
kriminal, seperti plagiarisme. Di sinilah etika otentik diterapkan agar
keotentikan suatu informasi tetap terjaga dengan menyantumkan refensi yang
terpercaya.
Dalam
menggunakan media sosial juga perlu menjunjung kearifan atau kebijaksanaan
dalam penggunaannya supaya informasi yang disebarkan oleh ibu jari merupakan
suatu konten yang tidak memicu konflik SARA dan berujung pada perpecahan
bangsa. Apalagi di tengah kondisi pandemi COVID-19 ini, persatuan adalah hal
yang amat penting untuk melawan suasana yang mencekam karena persebaran virus.
Etika yang
terakhir adalah integritas. Dengan integritas, akan menegaskan bahwa apa yang
diunggah dan sampaikan lewat media sosial berdasarkan sistem kejujuran dari
diri sendiri. Tidak menyebarkan berita bohong atau hoax merupakan salah satu
cara dalam menerapkan etika ini karena pada dasarnya berita bohong selain
merugikan masyarakat. Kelak suatu saat juga akan merugikan diri sendiri,
seperti dituntut, dilaporkan, dan sebagainya.
Mahasiswa PKN
STAN sebagai calon ASN yang memegang kunci pemerintahan di masa depan sudah
sepatutnya menunjukkan integritas dan martabat di segala aspek, termasuk dalam
memanfaatkan fitur di dunia maya sebab nama instansi yang terhormat di khalayak
umum bisa tercemar oleh kecerobohan dan kelalaian diri dalam bermedia sosial.
Kontributor : Angga & Syahdilana
Tidak ada komentar:
Posting Komentar