Pemerintah telah menetapkan Idulfitri
1442 H pada kisaran tanggal 13 dan 14 Mei 2021, yang bertepatan dengan Kenaikan
Isa Almasih pada tanggal 13 Mei 2021. Hal ini tentunya menjadi momen yang unik,
mengingat umat dari berbagai agama yang berbeda, yaitu Islam, Kristen, dan
Katolik, akan merayakan hari besar mereka masing-masing pada tanggal dan hari
yang sama.
Idulfitri merupakan momen yang paling
ditunggu-tunggu oleh umat Islam sebab hari tersebut merupakan hari kemenangan bagi
mereka setelah berpuasa selama satu bulan penuh. Walaupun pemerintah melakukan
pembatasan libur Lebaran dan pelarangan mudik karena adanya pandemi Covid-19, perihal tersebut tidak
menjadi kendala untuk tetap menjalin silaturahmi dengan keluarga. Tentunya hal ini
tidak lepas dari kemajuan teknologi di bidang komunikasi, apalagi saat ini
media untuk melakukan video conference, seperti
WhatsApp, Zoom, Webex, dan lain-lain,
tengah digandrungi masyarakat dalam melaksanakan komunikasi jarak jauh.
Terkait pelaksanaan salat Idulfitri
sendiri, ada beberapa daerah yang masih belum bisa menunaikan ibadah tersebut di
tempat yang ramai, seperti masjid maupun lapangan. Sebagai gantinya,
pelaksanaannya dapat dilaksanakan di rumah masing-masing agar penyebaran Covid-19
tidak semakin parah. Untuk daerah yang telah diizinkan untuk melaksanakan salat
Idulfitri secara berjamaah, pemerintah mengimbau agar selama pelaksanaan salat
tersebut, masyarakat senantiasa menjaga jarak dan mengikuti protokol kesehatan
sesuai peraturan yang ada.
Sementara itu, Kenaikan Isa Almasih adalah
peristiwa yang terjadi empat puluh hari setelah Kebangkitan Yesus Kristus.
Peringatan ini selalu dirayakan empat puluh hari setelah hari Paskah dan tahun
ini jatuh pada tanggal 13 Mei 2021. Bagi umat Kristen dan Katolik, makna dari
peringatan Kenaikan Isa Almasih ke surga merupakan pemuliaan Yesus Kristus
setelah kematian dan kebangkitan-Nya.
Peristiwa dua hari besar agama yang
berbeda, yang jatuh pada hari dan tanggal yang sama, sebenarnya bukanlah hal
yang baru bagi bangsa Indonesia. Peristiwa semacam ini pada dasarnya dapat
menunjukkan kualitas toleransi antarumat beragama di Indonesia. Masyarakat
Indonesia sendiri pun seharusnya sudah terbiasa untuk bergaul dengan warga yang
berbeda agama, dengan tetap menjunjung sikap saling menghormati dan menghargai
pilihan serta kebebasan beragama masing-masing individu.
Contoh peristiwa lain yang pernah
terjadi adalah peringatan maulid Nabi Muhammad SAW. bagi umat Islam dan hari Natal
bagi umat Kristen, yang jatuh bersamaan pada tanggal 24 dan 25 Desember 2015. Pada
momen tersebut, terlihat sikap toleransi antarumat beragama di beberapa tempat
di Indonesia, salah satunya pada sebuah daerah di Cirebon. Pemuda Cirebon
menggunakan momen tersebut untuk saling membantu dalam mempersiapkan acara,
seperti mengangkat kursi maupun memeriksa sound
system agar dua acara keagamaan tersebut dapat berlangsung dengan lancar.
Momen kerukunan antarumat beragama
lainnya juga tercermin pada tahun 2012 lalu, Ketika hari raya Nyepi bertepatan
pada hari Jumat sehingga hari raya umat Hindu tersebut berbarengan dengan
pelaksanaan ibadah salat Jumat oleh umat Islam. Hal ini sempat menjadi
persoalan bagi kedua umat tersebut pada waktu itu. Pada hari raya Nyepi, umat
Hindu di Bali harus melaksanakan Berata Penyepian secara khidmat, sedangkan
umat Islam juga harus menunaikan ibadah salat Jumat, terutama bagi muslim
laki-laki.
Pemkot Denpasar yang menjabat saat itu
pun mengambil kebijakan dan mengimbau agar umat Islam melaksanakan ibadah salat
jumat di masjid terdekat saja. Tidak hanya itu, mereka juga diimbau agar
pengeras suara masjid lebih diarahkan ke dalam selama khatib mengumandangkan
khutbah sehingga tidak mengganggu pelaksanaan Berata Penyepian yang
dilaksanakan oleh masyarakat yang beragama Hindu. Masalah seperti ini tentunya tidak
akan dapat diselesaikan tanpa adanya koordinasi dari tokoh pemerintah masing-masing
agama, serta kerja sama dan kepatuhan dari masyarakat.
Di Bali sendiri juga terdapat sebuah
tempat yang menjadi simbol kerukunan antarumat beragama di Indonesia, yang
bahkan juga menjadi destinasi wisata bagi turis domestik maupun mancanegara.
Tepatnya berada di Nusa Dua, Bali, terdapat sebuah tempat bernama “Puja Mandala”,
tempat yang sangat unik karena lima rumah ibadah sekaligus dibangun dalam satu
komplek tanah. Adapun rumah ibadah tersebut adalah Masjid Agung Ibnu Batutah,
Gereja Katolik Maria Bunda Segala Bangsa, Wihara Budhida Guna, Gereja Kristen
Protestan Bukit Doa, dan Pura Jagatnatha.
Dengan melihat banyaknya simbol
kerukunan antarumat beragama dan sikap toleransi yang berkembang di masyarakat,
Raja Salman – Raja Arab Saudi – sempat memuji kerukunan antarumat beragama di
Indonesia dalam acara silaturahmi dengan 28 tokoh lintas agama di tanah air
pada bulan Maret 2017 silam. Beliau mengatakan bahwa stabilitas Indonesia
merupakan hasil dari semangat toleransi dan hidup berdampingan di antara semua
lapisan penduduk Indonesia. Sang raja juga mengimbau agar masyarakat terus
memperkuat nilai-nilai toleransi dan menjalin komunikasi antarumat beragama sebagai
upaya dalam memerangi segala bentuk radikalisme dan ekstremisme yang telah
menjadi isu permasalahan global hingga saat ini.
Namun, apakah realita di atas sudah
cukup menjelaskan bahwa dinamika pelaksanaan kerukunan antarumat beragama di
Indonesia berjalan dengan baik dan mulus? Sayangnya, banyak kejadian atau
peristiwa yang di sisi lain justru mencoreng dan memutarbalikkan semua pujian
yang telah diberikan Raja Salman sebelumnya.
Salah satu contoh peristiwa yang
mencoreng kerukunan umat beragama dan baru-baru ini terjadi adalah pengeboman Gereja
Katedral di Makassar pada Minggu (28/3/2021). Tentunya peristiwa pengeboman ini
bukan yang pertama kali terjadi di Indonesia. Aksi teroris semacam ini telah
terjadi semenjak tahun 1967, yang tercatat pada pemberitaan Kompas, dan
menimpa Gereja Katedral di Jalan Darmo, Surabaya. Aksi teror pun semakin gencar
pada tahun 2000 yang menyasar sepuluh kota di Indonesia dan terus terjadi
hingga pada tahun 2021 ini.
Selain berupa tindakan terorisme dan
radikalisme, ada juga kasus kerusuhan yang disebabkan oleh kurangnya toleransi
dalam memandang perbedaan agama, seperti konflik Poso pada tahun 2000, konflik
Sampang pada tahun 2004, perselisihan agama antara umat Islam dan Nasrani di
Aceh pada tahun 2015, konflik Tanjungbadai pada tahun 2016, dan konflik
pembongkaran menara Masjid Al-Aqsha Sentani di Papua pada tahun 2018. Bahkan,
dalam keseharian pergaulan masyarakat sendiri, rasisme terhadap agama belum
dapat dihilangkan sepenuhnya karena mereka memandang perbedaan agama adalah
suatu ancaman terhadap keseragaman.
Dengan melihat beragam peristiwa dan
kejadian yang telah disebutkan di atas, tentu dapat disimpulkan bahwa bangsa
Indonesia masih memiliki tugas yang besar dalam menanamkan sifat toleransi pada
generasi penerus bangsa. Tidak hanya sekadar teori, tetapi juga menekankan pada
segi praktik, dengan membiasakan generasi bangsa dalam memandang perbedaan
sebagai pemerkaya bangsa, bukan alat pemecah belah.
“Tugas maha besar generasi
kita adalah mewariskan toleransi, bukan kekerasan.”
-Ridwan Kamil
KONTRIBUTOR:
1.
Sri
Mulyani
2.
Gilar
Angga Yudatama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar