Tak bisa dipungkiri, pandemi
Covid-19 yang berlangsung sejak Maret 2020 di Indonesia, membuat masyarakat
semakin peduli terhadap kesehatan. Berbagai cara dapat dilakukan oleh
masyarakat untuk menjaga kondisi kesehatan mereka, salah satunya dengan olahraga bersepeda. Segala
kalangan, baik yang muda maupun tua menyukai kegiatan tersebut. Bersepeda seakan
telah menjadi tren olahraga baru akhir-akhir ini.
Akhir
pekan menjadi waktu yang tepat untuk kegiatan bersepeda setelah menjalani
aktivitas yang cukup padat untuk bekerja maupun bersekolah. Agar lebih bersemangat,
mereka bersepeda dengan komunitas atau rekan-rekannya. Sepeda dianggap bisa menjadi
sarana untuk menghilangkan rasa jenuh dan menjaga kondisi kebugaran. Berdasarkan
Alodokter (2021), setidaknya ada 5 manfaat dari aktivitas bersepeda, yaitu
menjaga kesehatan jantung dan pembuluh darah, menjaga kesehatan otot dan sendi,
menjaga berat badan, menurunkan tingkat stres, dan menurunkan risiko terjadinya
diabetes dan kanker. Jadi, selain mengikuti tren, bersepeda memang memberikan
pengaruh yang sangat baik bagi kondisi kesehatan tubuh.
Naiknya intensitas para
pengguna sepeda juga diikuti dengan sering terjadinya konflik di jalanan antara
pengguna sepeda dengan pengguna kendaraan bermotor. Pasalnya, beberapa pesepeda
masih ada yang belum menunjukkan etikanya di jalan raya. Tidak jarang dijumpai gerombolan
pesepeda yang berjalan terlalu ke tengah sehingga mengganggu pengguna jalan
lainnya dan berisiko menimbulkan kecelakaan lalu lintas. Bahkan, ada juga
beberapa oknum komunitas atau gerombolan pesepeda yang memenuhi badan jalan.
Hal tersebut tentunya cukup berbahaya dan seringkali menimbulkan perselisihan
di jalanan.
Jika
melihat Undang-Undang Republik Indonesia No. 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas
dan Angkutan Jalan (UU LLAJ) Pasal
106 angka (2), keselamatan pesepeda memang lebih diutamakan. Karena pada pasal
tersebut disebutkan, “Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di
Jalan wajib mengutamakan keselamatan Pejalan Kaki dan pesepeda.” Akan tetapi, tidak serta merta pesepeda
bebas berjalan di jalan raya. Ada
batasan-batasan yang harus ditaati sebagai pengguna jalanan umum seperti
kendaraan lain.
Masih
pada Undang-Undang yang sama,
pasal
108 angka (3) juga menyebutkan,
“Sepeda Motor, Kendaraan Bermotor yang kecepatannya lebih rendah, mobil barang,
dan Kendaraan Tidak Bermotor berada pada lajur kiri Jalan.” Sepeda merupakan
salah satu jenis kendaraan tidak bermotor, sehingga berdasarkan peraturan ini
sewajarnya pesepeda berjalan pada lajur kiri jalan.
Pada
bulan Agustus 2020, pemerintah melalui Kementerian Perhubungan juga telah
menerbitkan Peraturan Menteri Perhubungan
(Permenhub) No. 59 Tahun 2020 Tentang Keselamatan Pesepeda di Jalan. Dalam
pasal 8 huruf (f) dikatakan bahwa pesepeda yang berkendara di jalan dilarang
untuk berkendara dengan berjajar lebih dari 2 (dua) sepeda.
Meskipun
sudah terdapat peraturan-peraturan di atas, gerombolan pesepeda masih sering
memenuhi jalan raya.
Contohnya kasus yang telah disebutkan di atas.
Foto seorang pengendara sepeda motor yang mengacungkan
jari tengah kepada gerombolan pesepeda. Hal
tersebut dilakukan lantaran gerombolan pesepeda
terlihat menghalangi jalur kendaraan bermotor. Ini sangat disayangkan karena seharusnya
pesepeda tidak hanya menuntut haknya, tetapi juga melaksanakan kewajibannya sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Lalu, bagaimana pemerintah mengatasi masalah-masalah
pada pesepeda tersebut? Kita bisa menganalisisnya dari dua tahapan solusi,
yaitu pemberian fasilitas jalur khusus dan sanksi/denda.
Jalur khusus pesepeda sebagaimana disebutkan dalam
Permenhub 59/2020 dapat berupa jalur khusus pada badan jalan maupun terpisah,
berbagi dengan kendaraan bermotor, atau menggunakan bahu jalan. Semua jenis
jalur diberikan syarat minimal fasilitas yang tersedia sehingga jalur tersebut
dikatakan layak untuk digunakan para pesepeda. Fasilitas tersebut dapat
ditetapkan oleh menteri, gubernur, dan bupati/wali kota terkait, sesuai dengan
kewenangannya masing-masing yang telah diatur dalam Permenhub 59/2020. Hal yang
perlu diperhatikan dalam penetapan adalah konektivitas jaringan lajur sepeda
dan terintegrasi dengan angkutan umum pada mil pertama dan terakhir.
Solusi selanjutnya adalah sanksi dan/atau denda yang
diberikan kepada pesepeda yang masih melanggar setelah diberikan jalur khusus.
Hal tersebut telah tertuang dalam pasal 299 UU LLAJ yang mengenakan pidana 15 hari atau denda paling banyak Rp100.000,- atas pesepeda
yang sengaja berpegang pada kendaraan bermotor untuk ditarik, menarik
benda-benda yang membahayakan pengguna jalan lain, dan/atau menggunakan jalur
jalan kendaraan lain. Karena termasuk dalam pelanggaran, sanksi dan/atau denda
dapat dikenakan langsung tanpa menunggu adanya pengaduan. Selain itu, denda
lebih diutamakan daripada sanksi pidana.
Peraturan dalam undang-undang tersebut pada dasarnya
adalah acuan bagi pemerintah daerah. Artinya pemerintah daerah, sebagai bagian
dari penanggung jawab kendaraan di daerahnya, diberikan kewenangan untuk
menyusun payung hukum terhadap jenis dan penggunaan kendaraan tidak bermotor,
termasuk sepeda dan sanksi-sanksi terkait pelanggarannya. Hal tersebut tertuang
dalam pasal 63 UU LLAJ.
Pesepeda memang lebih diutamakan daripada pengendara
bermotor, tetapi etika sebagai pengguna jalan harus tetap dijaga dan mengikuti
aturan yang berlaku. Aturan-aturan pun sudah disusun sedemikian rupa untuk
dipatuhi. Pemerintah daerah juga diberikan wewenang mengeluarkan aturan terkait
pengendara kendaraan tidak bermotor, termasuk sepeda dan sanksinya. Harapannya
pesepeda semakin tertib dengan melaksanakan kewajibannya sebagai pengguna
jalanan umum.
Referensi
Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
Peraturan
Menteri Perhubungan Nomor 59 Tahun 2020 Tentang Keselamatan Pesepeda di Jalan
Alodokter. (2021, April
19). 5 Manfaat Bersepeda bagi Kesehatan Tubuh. (S. Agustin, Editor)
Diakses dari ALODOKTER: https://www.alodokter.com/mari-telaah-manfaat-bersepeda-bagi-kesehatan
Kontributor
Novenda Rian P.
Surono
Tidak ada komentar:
Posting Komentar