Dewasa ini, tidak jarang ditemui orang-orang dengan
intensitas kerja yang tinggi. Banyak pekerja yang mendedikasikan sebagian besar
waktunya untuk bekerja. Sebagian dari mereka beranggapan bahwa semakin banyak
pekerjaan yang mereka ambil, semakin cepat mereka memperoleh kesuksesan. Bahkan
tak jarang pula pekerja yang karena sibuk dengan pekerjaannya sampai melalaikan
waktu untuk istirahat atau aktivitas lainnya. Fenomena seperti itu dapat
disebut sebagai Hustle Culture.
Dikutip dari laman Fakultas Kedokteran Universitas
Airlangga, Hustle Culture adalah gaya hidup dalam masyarakat dimana seseorang
menganggap dirinya hanya bisa mencapai kesuksesan bila dirinya terus bekerja
keras dan hanya meluangkan sedikit waktu untuk beristirahat. Gaya hidup ini
membuat seseorang merasa aspek hidup terpenting adalah mencapai tujuan
profesional dengan bekerja tanpa henti.
Dalam
dunia kerja, Hustle Culture dapat terwujud karena beberapa faktor.
Misalnya adalah promosi jabatan dan tambahan tunjangan atau kenaikan gaji.
Beberapa insentif tersebut tentunya cukup menggiurkan. Tidak sedikit pekerja
yang rela bekerja sepanjang hari hingga harus berkompetisi dengan rekan kerja
lainnya untuk mendapatkan beberapa insentif tersebut. Padahal ada cukup banyak
penelitian menunjukkan bekerja terus menerus dalam waktu yang cukup lama tidak
berbanding lurus dengan tingkat produktivitas. Seseorang yang
bekerja secara berlebihan berpeluang mengalami gangguan kesehatan seperti gangguan
kecemasan, depresi, serta gangguan tidur.
Hustle
Culture sendiri
merupakan sebuah isu yang telah mendunia. Di Jepang, terdapat istilah yang
disebut Karoshi. Karoshi merujuk
pada
kematian yang timbul akibat terlalu banyak bekerja. Dikatakan dalam sebuah jurnal,
selama tahun 2002 hingga 2005, Kementerian Kesehatan, Tenaga Kerja, dan
Kesejahteraan Jepang mencatat sekitar 300 kasus kerusakan hati dan otak akibat
budaya gila kerja di Jepang (Iwasaki, Takahashi, dan Nakata, 2006).
Hustle Culture tidak hanya terjadi di kalangan
pekerja saja, tetapi juga dapat di kalangan mahasiswa. Saat ini mahasiswa
sangat aktif tidak hanya di lingkungan akademik, tetapi juga dunia kerja.
Kriteria pekerja yang berbeda-beda di setiap lowongan membuat banyak mahasiswa
berusaha memenuhi berbagai macam kriteria tersebut. Mulai dari mengikuti lomba
akademik, kegiatan volunteer, hingga
magang atau internship di
perusahaan-perusahaan besar. Semua dilakukan demi mempersiapkan diri dalam
memasuki dunia kerja nanti. Selain itu, mahasiswa juga harus menghadapi
tugas-tugas yang diberikan oleh dosen. Banyaknya kegiatan yang menambah beban
tanggung jawab ini dapat menjadi cikal bakal dari munculnya Hustle Culture di kalangan mahasiswa.
Berikut
beberapa dampak yang bisa ditimbulkan dari fenomena Hustle Culture.
1.
Gangguan
kesehatan
Pada
intinya, Hustle Culture sangat beresiko terhada kesehatan, baik secara
fisik maupun psikis. Secara fisik, gangguan kesehatan dapat terwujud berupa
rasa lelah yang berlebih atau gangguan pada organ tubuh. Tubuh manusia
hakikatnya membutuhkan waktu untuk beristirahat. Sementara Hustle Culture mendorong
manusia untuk bekerja dengan intensitas tinggi hingga dapat melupakan waktu
makan, istirahat, olahraga, atau refreshing. Pola makan yang tidak
teratur dapat berdampak negatif pada organ-organ pencernaan seperti usus,
lambung, dan yang lainnya. Tidur atau istirahat yang kurang juga kurang baik
untuk kesehatan organ jantung.
Tak
hanya menyerang secara fisik, budaya ini juga berpeluang menyerang kesehatan
manusia secara psikis. Orang yang bekerja terus menerus dapat memicu kenaikan
tingkat stres karena harus dipaksa untuk berpikir dalam waktu yang lama. Stres
yang tidak bisa dikendalikan dapat memunculkan masalah pada mental (mental
illness) seperti gangguan kecemasan hingga depresi. Ketika kesehatan tubuh
sudah terganggu, maka justru akan pekerjaan akan terganggu. Secara tidak
lansung, gangguan kesehatan mental akan mengurangi produktivitas seseorang
dalam bekerja.
2.
Kehidupan
tidak seimbang
Bekerja
dengan intensitas yang tinggi tak hanya berdampak negatif pada kesehatan tubuh,
namun juga pada kehidupan manusia yang tidak seimbang. Terlalu banyak waktu
yang dihabiskan untuk bekerja membuat seseorang tidak memiliki waktu untuk
berinteraksi dengan lingkungan sosial, pergi ke tempat rekreasi, dan menekuni
hobi atau aktivitas lain yang diminati. Hal ini tentu tidak sejalan dengan
konsep work-life balance yang sewajarnya ditanamkan untuk menjalani
hidup yang lebih baik.
3.
Burn
Out
Dampak
ini merupakan kelanjutan dari gangguan kesehatan mental. Burnout merujuk pada
kondisi manusia yang sangat lelah dan tidak bisa bekerja karena stres yang
berlebih. Dampak negatif ini mungkin menjadi salah satu yang paling
dikhawatirkan. Karena, ketika sudah mencapai tahap ini, seseorang akan
kehilangan produktivitasnya. Semua pekerjaan hingga kehidupannya akan
terganggu. Bahkan bisa saja karir seseorang akan berakhir.
Melihat
bahaya yang dapat ditimbulkan di atas, sudah sepatutunya Hustle Culture diantisipasi
agar tidak terus menerus mengakibatkan dampak buruk bagi manusia. Beberapa
alternatif di bawah dapat dilakukan untuk mengantisipasi hustle culture adalah
sebagai berikut.
1.
Memperbaiki
mindset
Quotes
yang cukup populer
“Bekerja untuk hidup, bukan hidup untuk bekerja” memang benar adanya dan hal
tersebut dapat menjadi refleksi para pekerja atau orang-orang yang masih
beranggapan bahwa hanya dengan bekerja tanpa henti tujuan-tujuan hidup dapat
tercapai.
Persoalan
hidup juga bukan hanya tentang pekerjaan dan uang. Selain itu, masih ada
hal-hal penting yang perlu diperhatikan, seperti kesehatan tubuh, waktu untuk
keluarga, dan aspek-aspek religious.
2.
Manajemen
waktu yang baik
Manajemen
waktu antara pekerjaan dan aktivitas lain perlu diperhatikan dengan baik.
Selain bekerja, manusia membutuhkan waktu istirahat dan rekreasi. Manajemen
waktu yang baik dilakukan agar waktu bekerja dan aktivitas lainnya seimbang.
3.
Melakukan
apresiasi diri bahwa apa telah dilakukan sudah lebih dari kata cukup
Sederhananya,
kita boleh mengapresiasi atau memuji diri kita sendiri atas apa yang telah kita
kerjakan. Hal ini dilakukan untuk membendung pikiran-pikiran negatif yang dapat
mendorong budaya Hustle Culture, seperti selalu merasa kurang atas apa
yang dimiliki dan rasa iri terhadap terhadap pencapaian orang lain.
Dari narasi di atas, sudah sepantasnya kita sebagai mahasiswa untuk mulai membiasakan berpikir lebih rasional. Bekerja dengan intensitas tinggi merupakan hal yang positif selama masih sesuai dengan porsi kemampuan kita. Namun ketika kita bekerja hingga mengabaikan aspek-aspek penting lainnya, hal tersebut akan menjadi boomerang bagi kita.
Referensi
:
https://fk.unair.ac.id/mengenal-hustle-culture-budaya-gila-kerja-generasi-muda/
https://www.brilio.net/creator/hustle-culture-sisi-gelap-gila-kerja-be4d94.html
https://bisnismuda.id/read/4348-dessy-fadia-haya/cara-mengatasi-hustle-culture-dan-faktor-faktor-penyebab-menjadi-hustle-culture
Iwasaki,
Kenji, Masaya Takahashi, and Akinori Nakata. 2006. “Health Problems Due to Long
Working Hours in Japan: Working Hours, Workers’ Compensation (Karoshi), and
Preventive Measures.” Industrial Health 44 (4): 537–40.
Kontributor: Rian dan Naufal
Tidak ada komentar:
Posting Komentar