menu melayang

Selasa, 19 November 2024

Kita Semua Adalah Pelacur

 Intro:

Saat membaca novel "Kesatria, Putri, dan Bintang Jatuh" karya Dee Lestari, ada bagian yang membuat saya berhenti sejenak untuk berpikir: bagaimana jika pelacur, yang sering dipandang rendah oleh masyarakat, sebenarnya bisa menjadi simbol kejujuran dan kebebasan? Pemikiran ini muncul dalam percakapan antara Dimas dan Reuben di salah satu bab yang sangat menarik, yaitu Keping 6: "Reversed Order Mechanism" dan dilanjutkan Keping 7: "Bintang Jatuh".


Dalam novel ini, pelacur tidak hanya digambarkan sebagai profesi yang mendapatkan stigma buruk, tetapi juga sebagai gambaran perwujudan keberanian untuk menjalani hidup dengan jujur. Mereka menjual tubuh secara terang-terangan tanpa topeng atau manipulasi. Mereka adalah perwujudan keterbukaan terhadap keinginan manusiawi yang sering kali dianggap tabu oleh masyarakat.

"Ketika seseorang mencapai level kemerdekaan berpikir yang sedemikian tinggi, dia tidak bakalan rela pikirannya diperjualbelikan. Satu-satunya yang layak didagangkan jadi cuma fisiknya."

Melalui pernyataan ini, Dee Lestari membongkar cara pandang masyarakat yang cenderung melihat dunia dalam warna hitam dan putih. Ia menegaskan bahwa pelacur adalah simbol kejujuran yang menolak untuk bersembunyi di balik kepalsuan dan kepura-puraan.

Kita semua adalah pelacur

Selain menentang pandangan moral terhadap pelacur, Dee Lestari juga mengungkap paradoks dalam kehidupan sosial. Masyarakat sering kali mencela profesi tersebut, tetapi secara tidak langsung turut menjadi konsumen atau bahkan menjadi pelaku "pelacuran" dalam berbagai bentuk lainnya.

"Pelacuran terjadi di mana-mana. Hampir semua orang melacurkan waktu, jati diri, pikiran, bahkan jiwa mereka."

Mari kita ambil contoh sederhana. Misalnya, seseorang bekerja di perusahaan yang dikenal merusak lingkungan, tetapi tetap bertahan karena gajinya besar. Dia secara tidak sadar "melacurkan" prinsip peduli lingkungan demi stabilitas finansial. 

Atau seorang mahasiswa yang sejak kecil bermimpi menjadi dokter akhirnya memilih masuk ke sekolah kedinasan karena keluarganya yakin profesi sebagai PNS lebih menjamin masa depan. Ia menjalani hari-hari di kampus dengan beban, merasa terjebak dalam pilihan yang bukan miliknya. Dalam hal ini, mahasiswa tersebut telah "melacurkan" cita-citanya demi penerimaan sosial dari keluarga.

Atau mahasiswa lain yang selalu tampil di barisan depan kelas, mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang tampak cerdas, dan sering memberikan pujian kepada dosennya. Ia melakukan ini bukan karena ia tertarik dengan materi, tetapi karena ia ingin mencitrakan dirinya sebagai mahasiswa yang pintar dan layak mendapat nilai bagus. Proses belajarnya menjadi tidak murni, dan ia secara tidak sadar telah "melacurkan" kesungguhan belajar demi hasil akhir yang terlihat bagus.

Paradoks Kehormatan

Salah satu gagasan menarik yang muncul kemudian dalam buku ini adalah bahwa pelacur sebenarnya menjaga kehormatan pada level tertentu. Mereka mungkin menjual tubuh, tetapi mereka menolak menjual pikiran, idealisme, atau kebebasan intelektual mereka. Bagi Dee Lestari, pelacur menjadi simbol manusia yang menolak kemunafikan. Dalam menjalankan profesi yang dianggap hina oleh masyarakat, mereka justru mempertahankan integritas dalam bentuk lain—kejujuran terhadap diri sendiri.

Sementara itu, kita yang memandang rendah mereka, justru “melacur” dengan menjual pikiran, idealisme, dan kebebasan kita. Kita bahkan menjadi tampak lebih buruk karena hidup dalam kepalsuan dan penghianatan diri. Seperti pohon rindang yang akarnya telah lapuk, berdiri tegak hanya karena dukungan dari tanah yang rapuh. Dari luar, kita mungkin terlihat kokoh dan mengesankan, tetapi tanpa pondasi berupa kejujuran pada diri sendiri, semua itu rapuh dan sewaktu-waktu bisa runtuh.

Pada akhirnya, kehidupan yang tampak indah dari luar tidak akan berarti jika di dalamnya hanya ada kehampaan akibat pengkhianatan terhadap diri sendiri. Daripada melacurkan pikiran, idealisme, atau kebebasan kita demi penerimaan atau pencapaian semu, bukankah lebih baik memilih jalan yang sesuai dengan nilai-nilai kita, meski penuh tantangan? Hidup dengan kejujuran pada diri sendiri mungkin sulit, tetapi itu adalah satu-satunya cara untuk menemukan makna sejati dan menjaga akar kehidupan kita tetap kokoh. 


Kontributor: Solu


1 komentar:

Back to Top

Cari Artikel